Sejarah Pancasila
Jepang memberikan janji kemerdekaan di kelak kemudian hari.
Janji ini diucapkan oleh Perdana Menteri Kaiso pada tanggal 7 September 1944.
Oleh karena terus menerus terdesak, maka pada tanggal 29 April 1945 Jepang
memberikan janji kemerdekaan yang kedua kepada bangsa Indonesia, yaitu janji
kemerdekaan tanpa syarat yang dituangkan dalam Maklumat Gunseikan (Pembesar
Tertinggi Sipil dari Pemerintah Militer Jepang di Jawa dan Madura)
Dalam maklumat itu sekaligus dimuat dasar pembentukan Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tugas badan
ini adalah menyelidiki dan mengumpulkan usul-usul untuk selanjutnya dikemukakan
kepada pemerintah Jepang untuk dapat dipertimbangkan bagi kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan badan ini dilantik pada tanggal 28 Mei 1945, dan
mengadakan sidang pertama pada tanggal 29 Mei 1945 – 1 Juni 1945. Dalam sidang
pertama ini yang dibicarakan khusus mengenai calon dasar negara untuk Indonesia
merdeka nanti. Pada sidang pertama itu, banyak anggota yang berbicara, dua di
antaranya adalah Muhammad Yamin dan Bung Karno, yang masing-masing mengusulkan
calon dasar negara untuk Indonesia merdeka. Muhammad Yamin mengajukan usul
mengenai dasar negara secara lisan yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Peri Kebangsaan
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
2. Peri Kemanusiaan
3. Peri Ketuhanan
4. Peri Kerakyatan
5. Kesejahteraan Rakyat
Selain itu Muhammad Yamin juga mengajukan usul secara tertulis yang juga terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Persatuan Indonesia
3. Rasa Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Usulan ini diajukan pada tanggal 29 Mei 1945, kemudian pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno mengajukan usul mengenai calon dasar negara yang terdiri atas lima hal, yaitu:
1. Nasionalisme (Kebangsaan Indonesia)
2. Internasionalisme (Perikemanusiaan)
3. Mufakat atau Demokrasi
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan
Kelima hal ini oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Lebih lanjut Bung Karno mengemukakan bahwa kelima sila tersebut dapat diperas menjadi Trisila, yaitu:
1. Sosio nasionalisme
2. Sosio demokrasi
3. Ketuhanan
Berikutnya tiga hal ini menurutnya juga dapat diperas menjadi Ekasila yaitu Gotong Royong.
Selesai sidang pertama, pada tanggal 1 Juni 1945 para
anggota BPUPKI sepakat untuk membentuk sebuah panitia kecil yang tugasnya
adalah menampung usul-usul yang masuk dan memeriksanya serta melaporkan kepada
sidang pleno BPUPKI. Tiap-tiap anggota diberi kesempatan mengajukan usul secara
tertulis paling lambat sampai dengan tanggal 20 Juni 1945. Adapun anggota
panitia kecil ini terdiri atas delapan orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta
2. Ki Bagus Hadikusumo
3. K.H. Wachid Hasjim
4. Mr. Muh. Yamin
5. M. Sutardjo Kartohadikusumo
6. Mr. A.A. Maramis
7. R. Otto Iskandar Dinata
8. Drs. Muh. Hatta
Pada tanggal 22 Juni 1945 diadakan rapat gabungan antara
Panitia Kecil, dengan para anggota BPUPKI yang berdomisili di Jakarta. Hasil
yang dicapai antara lain disetujuinya dibentuknya sebuah Panitia Kecil
Penyelidik Usul-Usul/Perumus Dasar Negara, yang terdiri atas sembilan
orang, yaitu:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin
2. Drs. Muh. Hatta
3. Mr. A.A. Maramis
4. K.H. Wachid Hasyim
5. Abdul Kahar Muzakkir
6. Abikusno Tjokrosujoso
7. H. Agus Salim
8. Mr. Ahmad Subardjo
9. Mr. Muh. Yamin
Panitia Kecil yang beranggotakan sembilan orang ini pada
tanggal itu juga melanjutkan sidang dan berhasil merumuskan calon Mukadimah
Hukum Dasar, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta”.
Dalam sidang BPUPKI kedua, tanggal 10-16 juli 1945, hasil
yang dicapai adalah merumuskan rancangan Hukum Dasar. Sejarah berjalan terus.
Pada tanggal 9 Agustus dibentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, dan
sejak saat itu Indonesia kosong dari kekuasaan. Keadaan tersebut dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh para pemimpin bangsa Indonesia, yaitu dengan
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 17 Agustus 1945. Sehari
setelah proklamasi kemerdekaan PPKI mengadakan sidang, dengan acara utama (1)
mengesahkan rancangan Hukum Dasar dengan preambulnya (Pembukaannya) dan (2)
memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Untuk pengesahan Preambul, terjadi proses yang cukup panjang.
Sebelum mengesahkan Preambul, Bung Hatta terlebih dahulu mengemukakan bahwa
pada tanggal 17 Agustus 1945 sore hari, sesaat setelah Proklamasi Kemerdekaan,
ada utusan dari Indonesia bagian Timur yang menemuinya.
Intinya, rakyat Indonesia bagian Timur mengusulkan agar pada
alinea keempat preambul, di belakang kata “ketuhanan” yang berbunyi “dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dihapus. Jika
tidak maka rakyat Indonesia bagian Timur lebih baik memisahkan diri dari negara
RI yang baru saja diproklamasikan. Usul ini oleh Muh. Hatta disampaikan kepada
sidang pleno PPKI, khususnya kepada para anggota tokoh-tokoh Islam, antara lain
kepada Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wakhid Hasyim dan Teuku Muh. Hasan. Muh. Hatta
berusaha meyakinkan tokoh-tokoh Islam, demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Oleh karena pendekatan yang terus-menerus dan demi persatuan
dan kesatuan, mengingat Indonesia baru saja merdeka, akhirnya tokoh-tokoh Islam
itu merelakan dicoretnya “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” di belakang kata Ketuhanan dan diganti dengan “Yang Maha
Esa”.
Adapun bunyi Pembukaan UUD1945 selengkapnya sebagai berikut:
UNDANG-UNDANG DASAR
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
PEMBUKAAN
(Preambule)
Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan de-ngan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadil-an sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Ke-rakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
PERJALANAN
Namun dibalik itu semua ternyata pancasila memang mempunyai
sejarah yang panjang tentang perumusan-perumusan terbentuknya pancasila, dalam
perjalanan ketata negaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan
salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan
begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik
mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila.
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Dari beberapa sumber, setidaknya ada beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Muh Yamin, Sukarno, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden 5 Juli 1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Muh. Yamin
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada
29 Mei – 1 Juni 1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan
mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik
Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei 1945 Mr. Muh. Yamin
menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato
maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
Rumusan Pidato
Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi
lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:
1.Peri Kebangsaan
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
2.Peri Kemanusiaan
3.Peri ke-Tuhanan
4.Peri Kerakyatan
5.Kesejahteraan Rakyat
Selain usulan lisan Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara. Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
1.Ketuhanan Yang Maha Esa
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.Kebangsaan Persatuan Indonesia
3.Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan II: Ir. Soekarno
Selain Muh Yamin, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan
usul dasar negara, diantaranya adalah Ir Sukarno[1]. Usul ini disampaikan pada
1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah
usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip.
Sukarno pula- lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara
harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa
(Muh Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno. Oleh karena itu rumusan Sukarno di
atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.
Rumusan Pancasila
1.Kebangsaan Indonesia
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
2.Internasionalisme,-atau peri-kemanusiaan
3.Mufakat,-atau demokrasi
4.Kesejahteraan sosial
5.ke-Tuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila
1.Socio-nationalisme
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
2.Socio-demokratie
3.ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila
1.Gotong-Royong
Rumusan III: Piagam Jakarta
Rumusan III: Piagam Jakarta
Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan
anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni 1945.
Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli 1945, delapan orang anggota BPUPKI ditunjuk
sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul
anggota BPUPKI yang telah masuk.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Pada 22 Juni 1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan “Panitia Sembilan”) yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI
terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan
golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler dimana negara sama
sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua
golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen
“Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/ declaration of independence).
Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil
kesepakatan para “Pendiri Bangsa”.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara
pada Piagam Jakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan
dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak
kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan
[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
[A] dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar,
[A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
[A.2] persatuan Indonesia, dan
[A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;] serta
[B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam
Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan IV: BPUPKI
Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada
10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam
Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli
1945.
Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah
dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration of Independence
(berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan
(berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun).
Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14
Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan
menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir. Rumusan rancangan
dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang
dikenal oleh masyarakat luas.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
2.Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: PPKI
Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti
dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa
Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan. Sore hari
tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil dari Indonesia daerah Kaigun (Papua,
Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), diantaranya A. A. Maramis,
Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian
dasar negara.
Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan,
Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam.
Semula, wakil golongan Islam, diantaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman
Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu.
Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian
rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sebuah
“emergency exit” yang hanya bersifat sementara dan demi keutuhan Indonesia.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo.
Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan
dipakai oleh bangsa Indonesia hingga kini. UUD inilah yang nantinya dikenal
dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VI: Konstitusi RIS
Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik
Indonesia semakin kecil dan terdesak. Akhirnya pada akhir 1949 Republik
Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk
negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik
Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja.
Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945
tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi
Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari
RIS. Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah
(pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember 1949
oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh):
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VII: UUD Sementara
Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan
kehancuran. Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan
bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta.
Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis
yaitu RI Yogyakarta, NIT, dan NST. Setelah melalui beberapa pertemuan yang
intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari NIT dan NST, menyetujui
pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD
Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7
Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat
menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS No 37)
yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini
terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun
1950.
Rumusan kalimat
“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh) :
1.ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
2.perikemanusiaan,
3.kebangsaan,
4.kerakyatan
5.dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD 1945
Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan
menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya
bagi keutuhan negara. Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat
itu, Sukarno, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah
satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18
Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara.
Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila
yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi
negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam
berbagai produk ketetapannya, diantaranya:
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
1.Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
2.Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata
Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat
Rumusan kalimat
“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan IX: Versi Berbeda
Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR
pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda. Rumusan ini terdapat dalam
lampiran Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai
Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan
Republik Indonesia.
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.Keadilan sosial.
Rumusan X: Versi Populer
Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang
beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat. Rumusan Pancasila versi
populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia
pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan
rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta
dengan mewujudkan suatu” pada sub anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa)
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan
1.Ketuhanan Yang Maha Esa,
2.Kemanusiaan yang adil dan beradab,
3.Persatuan Indonesia
4.Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5.Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Catatan Kaki
1.^ Sidang Sesi I BPUPKI tidak hanya membahas mengenai calon
dasar negara namun juga membahas hal yang lain. Tercatat dua anggota Moh.
Hatta, Drs. dan Supomo, Mr. mendapat kesempatan berpidato yang agak panjang.
Hatta berpidato mengenai perekonomian Indonesia sedangkan Supomo yang kelak
menjadi arsitek UUD berbicara mengenai corak Negara Integralistik.
2.^ Negara Indonesia Timur, wilayahnya meliputi Sulawesi dan
pulau-pulau sekitarnya, Kepulauan Nusa Tenggara, dan seluruh kepulauan Maluku.
3.^ Negara Sumatra Timur, wilayahnya meliputi bagian timur
provinsi Sumut (sekarang)
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).
“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945).
Referensi
1.Undang Undang Dasar 1945
2.Konstitusi RIS (1949)
3.UUD Sementara (1950)
4.Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
5.Syafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
6.Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
7.http://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila#Rumusan_I:_Muh._Yamin.2C_Mr
1.Undang Undang Dasar 1945
2.Konstitusi RIS (1949)
3.UUD Sementara (1950)
4.Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
5.Syafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
6.Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka
7.http://id.wikipedia.org/wiki/Rumusan-rumusan_Pancasila#Rumusan_I:_Muh._Yamin.2C_Mr
Komentar
Posting Komentar